Nyatakanlah Welas Asihmu Dalam Tindakan


Selamat Datang di ANJALI
Dengan sikap ANJALI _/\_ dan dengan segala rasa hormat saya ucapkan selamat datang di blog ANJALI ini. Semoga ANJALI bisa memberikan manfaat kepada Bapak/Ibu dan Saudara/i Sedharma.

Saraniya Dhamma

1. Mettakaya-kamma

Metta-kayakamma adalah melakukan perbuatan baik dengan cara menyebarkan cinta kasih (Metta) dalam bentuk perbuatan jasmani (Kaya-Kamma) kepada sesama, baik didepan umum maupun pribadi, baik sewaktu mereka ada atau tidak. Dengan cinta kasih ini kita dapat membantu dan gotong-royong secara ringan tangan kepada semua lapisan masyarakat yang membutuhkan bantuan tanpa membeda-bedakan suku, agama dan ras. Apapun perbuatan yang telah dilakukan hendaknya disertai dengan cinta kasih. Inilah perbuatan yang membuat saling dikenang, saling dihormati, menunjang untuk saling menolong dan ditolong, menciptakan kerukunan dan kesatuan.

“Dalam hal ini para Bhikkhu, seorang Bhikkhu menyertakan cinta kasih (metta) dalam perbuatan jasmani (kaya-kamma) terhadap sesama teman kehidupan suci, baik didepan umum mapun pribadi. Inilah satu ajaran untuk diingat, untuk dicintai dan untuk dihormati, demi kerukunan, bebas dari pertentangan, keharmonisan dan persatuan”(Wowor, tanpa tahun: 56).
Memang Buddha menjelaskan hal ini kepada para Bhikkhu tetapi hal ini dapat dilakukan dan dipraktekkan bagi siapa saja tanpa membeda-bedakan. Semua manusia membutuhkan cinta kasih dan mempunyai cinta kasih. Manusia tidak hidup sendiri dan tentu saja juga tidak bekerja sendiri, ia harus berhubungan dan membutuhkan dukungan orang lain, selalu ada interaksi dan interpedensi. Jangan menganggap orang lain sebagai lawan tetapi anggaplah sebagai kawan, teman, mitra, sekutu yang saling melengkapi. Dengan menanggapi pihak lain sebagai lawan, maka akan timbul kebencian dan permusuhan yang akan menimbulkan perpecahan sehingga kerukunan tidak akan terwujud. Tetapi dengan kita mempraktekkan cinta kasih kita melalui perbuatan maka gotong royong dan kebersamaan akan terjalin.

2. Mettavaci-kamma

Metta-vacikamma adalah melakukan perbuatan baik dengan cara menyebarkan cinta kasih (Metta) dalam bentuk ucapan (Vaci-kamma) terhadap sesama, baik didepan umum maupun pribadi, baik sewaktu mereka ada atau tidak. Hendaknya setiap kata-kata yang kita ucapkan kepada siapa saja, dimanapun kita berada selalu disertai dengan cinta kasih. Inilah perbuatan yang membuat saling dikenang, saling dihormati, menunjang untuk saling menolong dan ditolong, menciptakan kerukunan dan kesatuan.

“Begitu juga para Bhikkhu, seorang bhikkhu menyebarkan cinta kasih (metta) dalam bentuk perbuatan ucapan (vaci kamma) terhadap sesama teman kehidupan suci, baik didepan umum maupun pribadi, baik sewaktu mereka ada atau tidak. Inilah satu ajaran untuk di ingat, untuk dicintai dan untuk di hormati, demi kerukunan, bebas pertentangan, keharmonisan dan persatuan”(Wowor, tanpa tahun: 57).

Setiap kata yang kita ucapan hendaknya disertai dengan cinta kasih, yaitu menghindari bicara yang tidak benar diantaranya adalah menghindari bicara kasar, memfitnah, omong kosong, dan berbohong. Sekali kita berbicara yang tidak benar, maka dalam waktu yang sangat lama akan di cap sebagai pembohong, pemfitnah, dan penipu untuk suatu jangka waktu yang sulit dilupakan begitu saja. Demikian juga kebiasaan kita mencaci maki seseorang dengan kata-kata yang kasar akan menciptakan kebencian orang lain terhadap diri kita sendiri. Akibat dari pembicaraan yang tidak benar tersebut akan menyebabkan perselisahan, pertengkaran, dan percekcokkan di dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.

3. Mettamano-kamma

Metta-manokamma adalah melakukan perbuatan baik dengan cara menyebarkan cinta kasih (Metta) dalam bentuk perbuatan pikiran (Mano-kamma) terhadap sesama, baik didepan umum maupun pribadi, baik sewaktu mereka ada atau tidak. Setiap hal yang kita pikirkan hendaknya disertai dengan cinta kasih. Inilah perbuatan yang membuat saling dikenang, saling dihormati, menunjang untuk saling menolong dan ditolong, menciptakan kerukunan dan kesatuan.

“Begitu juga para Bhikkhu, seorang bhikkhu menyebarkan cinta kasih (metta) dalam bentuk perbuatan pikiran (mano kamma) terhadap sesama teman kehidupan suci, baik didepan umum maupun pribadi, baik sewaktu mereka ada atau tidak. Inilah satu ajaran untuk di ingat, untuk dicintai dan untuk di hormati, demi kerukunan, bebas pertentangan, keharmonisan dan persatuan”(Wowor, tanpa tahun: 57).
Umat manusia tercipta bukan hanya dari tubuh jasmani tetapi juga dari pikiran. Dengan dilengkapi oleh pikiran, manusia menjadi bisa berpikir untuk membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, itulah fungsi khusus pikiran. Melalui pikiranlah nilai umat manusia bisa dimengerti, dihargai, dan diikuti. Jika pikirannya tidak digunakan dengan cara yang rasional dan manusiawi, maka seseorang itu tidak berharga untuk dianggap sebagai umat manusia.

Sebagai umat Buddha telah kita ketahui bersama bahwa pikiran adalah pelopor, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk dari segala sesuatu, apabila pikiran kita baik maka hasilnya akan baik dan sebaliknya apabila pikiran kita buruk hasilnya akan buruk (Widya, 2002:3). Kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja hendaknya kita selalu memancarkan cinta kasih kita melalui pikiran. Dengan kita memancarkan cinta kasih kita melalui pikiran maka akan mengkondisikan terwujudnya cinta kasih melalui ucapan dan perbuatan.


Dalam agama Buddha pemancaran cinta kasih ini terdapat dalam paritta ”Karaniya Metta Sutta” . Di satu sisi, pembacaan paritta ini akan membersihkan dan memperkuat pikiran, membangun kekuatan tersembunyi dalam diri, sehingga mengakibatkan peningkatan spiritual dalam diri seseorang. Dengan berkembangnya cinta kasih dalam diri seseorang, pikiran tidak lagi dipengaruhi oleh keserakahan, kebencian, nafsu indra, iri hati, dan hal-hal lain yang mengotori batin yang merupakan musuh sesungguhnya dalam diri seseorang.

Di sisi lain, cinta kasih merupakan kekuatan pikiran yang dapat mempengaruhi makhluk lain siapapun dan dimanapun. Pancaran cinta kasih tidak hanya akan menciptakan ketenangan batin pada diri sendiri tetapi juga akan menciptakan ketenangan batin bagi orang yang mendapatkan pancaran cinta kasih, dengan pancaran cinta kasih ini akan menciptakan ketenangan, perdamaian dan kedamaian didalam diri maupun di alam semesta karena dengan cinta kasih ini akan menghilangkan sifat kebencian dalam diri seseorang yang merupakan penyebab dari perbuatan buruk. Pemancaran cinta kasih ini pun dapat menyembuhkan seseorang dari sakit yang parah, ini telah terbukti di Negri-negeri Buddhis (Widya, 2007:3).

4. Sadharanabhogi

Sadharanabogi adalah selalu berbagi kepada sesama apabila memperoleh keuntungan-keuntungan yang didapatnya secara benar. Dengan berbagi sesuatu yang telah kita dapatkan kepada sesama, walaupun sedikit maka akan menciptakan suatu kebersamaan. Inilah hal yang membuat saling mengenang dan dikenang, saling dicintai, saling dihormati, menunjang untuk saling menolong dan ditolong, menciptakan kerukunan dan kesatuan.

“Begitu juga para Bhikkhu, seorang bhikkhu yang telah memperoleh pemberian-pemberian secara jujur dan benar, bahkan dengan isi mangkuknya sekalipun, ia tidak akan mempergunakan pemberian-pemberian itu tanpa membagikannya secara rata dengan sesama teman kehidupan suci yang memiliki sila. Inilah satu ajaran untuk di ingat, untuk dicintai dan untuk di hormati, demi kerukunan, bebas pertentangan, keharmonisan dan persatuan”(Wowor, tanpa tahun: 57).

Selalu berbagi ini dengan kata lain disebut dana. Orang yang berdana berarti orang yang memiliki kemurahan hati. Kita melakukan kemurahan hati sejati jika kita dapat memberi dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan apapun. Dalam ajaran Buddha selalu berbagi ini bukan hanya dalam bentuk materi saja tetapi berbagai macam bentuk, misalnya makanan, tenaga maupun pengetahuan bahkan organ tubuhnya.

Dalam ajaran Buddha, pemberian yang paling berharga adalah pemberian pengetahuan tentang kebenaran (Dhamma), karena Dhamma dapat membebaskan makhluk dari penderitaan. Pemberian ini memiliki kekuatan yang besar untuk mengubah kehidupan. Ketika seseorang menerima Dhamma dengan pikiran yang murni dan mempraktikkan kebenaran dengan sungguh-sungguh maka ia akan mengalami kebahagiaan, kedamaian dan kegembiraan yang lebih besar dalam pikirannya. Dengan melalui Dhamma, orang yang penuh kebencian menjadi welas asih, orang yang tamak menjadi murah hati, dan orang yang gelisah menjadi tentram (Dhammananda, 2003:244).

5. Silasamannata

Silasamannata adalah di depan umum atau pun pribadi, selalu menjalankan kehidupan bermoral, tidak berbuat sesuatu yang menyinggung dan melukai perasaan orang lain. Kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja hendaknya kita selalu menjalankan kehidupan yang bermoral dan saling menghormati. Inilah perbuatan yang membuat saling dikenang, saling dihormati, menunjang untuk saling menolong dan ditolong, menciptakan kerukunan dan kesatuan.

“Begitu juga para Bhikkhu, dalam hal tinggal bersama dengan sesama teman kehidupan suci, seorang Bhikkhu memiliki sila yang sama, baik di depan umum maupun pribadi. Ia melatih silanya secara lengkap dan sempurna, tanpa cela dan murni, yang bersifat membebaskan, di puji oleh para bijaksana, tidak terpengaruh oleh hal-hal duniawi dan membawa pada konsentrasi pikiran. Inilah satu ajaran yang untuk di ingat, untuk dicintai dan untuk di hormati, demi kerukunan, bebas pertentangan, keharmonisan dan persatuan” (Wowor, tanpa tahun: 57).

Moral dalam manifestasinya dapat berupa aturan prinsip, benar dan baik, terpuji serta mulia. Moral juga dapat berbentuk kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, negara dan bangsa. Sebagai nilai dan norma, moral dapat dibedakan menurut objeknya seperti moral ketuhanan, moral keagamaan, dan moral filsafat (Dhammananda, 2003:213). Umat Buddha berusaha untuk menjalankan praktik sila (kemoralan). Untuk umat awam terdiri dari lima sila yaitu tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak mengucapkan kata yang tidak benar, dan tidak mengkonsumsi makanan serta minuman yang menyebabkan lemahnya kesadaran.

Umat Buddha diharapkan untuk melatih dan mengembangkan sila. Moral, etika dan agama merupakan kendali yang harus diterapkan untuk memungkinkan hasrat yang penuh kasih memenangkan pergulatan melawan keserakahan dalam hati sanubari yang rumit. Pada masa sekarang ini, masyarakat hidup dalam dunia perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju, manusia memiliki kecenderungan untuk mengejar kekayaan material. Dalam kondisi yang demikian ini akan terjadi pergeseran nilai, diantaranya adalah ukuran terhadap martabat seseorang melalui kekayaan yang dimilikinya, bukan lagi dari sifat-sifat kebaikan orang tersebut. Disamping dorongan untuk mengejar kekayaan materi, manusia juga memiliki kecenderungan untuk memeperjuangkan kepentingannya sendiri (Individualitas).

Dari pernyataan tersebut maka seseorang harus mempunyai moral yang baik di depan umum atau pun pribadi. Disamping itu juga harus mempunyai sikap toleransi dan saling menghormati terhadap sesama sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain. Telah disebutkan bahwa rasa hormat menimbulkan rasa hormat pula. Jika kita mengharap pemeluk agama lain untuk menghormati ibadah kita maka kita juga tidak boleh ragu untuk menunjukkan rasa hormat kepada mereka pada saat mereka melakukan ibadah. Sikap ini pasti akan mendukung hubungan yang lancar dan ramah dalam suatu masyarakat yang menganut berbagai agama. Agama Buddha telah menunjukkan toleransinya terhadap ajaran lain. Ini terbukti dengan fakta sejarah pada masa kehidupan Buddha, Raja Asoka dengan Prasati Asokanya, Jaman Majapahit dengan Kitab Sutasomanya.

Diceritakan pada waktu itu Nigatha Nataputha seorang guru besar dari sekte agama Jaina mengutus muridnya Upali yang cerdik dan pandai untuk berdialog dengan Buddha tentang hukum Kamma. Setelah berdialog Upali memperoleh kesadaran bahwa ajaran Buddha adalah ajaran yang benar sehingga upali mohon untuk diterima menjadi siswa Buddha. Tetapi dengan halus Buddha menolaknya, sambil meminta kepada Upali agar memikirkannya dengan sungguh-sungguh, apalagi Upali adalah siswa dari seorang guru besar terkenal dan terpandang di mayarakat. Setelah upali memohon kepada Buddha agar dapat diterima sebagai muridnya sampai tiga kali, barulah Buddha menerima upali sebagai penganutnya dengan syarat Upali harus mengargai bekas agamanya dan menghormati mantan guru besarnya. Memahami cerita diatas, maka Buddha telah menunjukkan besarnya toleransi terhadap agama lain.

Fakta sejarah selanjutnya adalah Prasasti Raja Asoka. Pada akhir abad ke-3 S.M., seorang Kaisar Buddhist yang termasyur dari India, bernama Asoka, telah mengikuti teladan mulia Buddha Gotama perihal kerukunan, sehingga beliau menghormat dan memberi bantuan kepada agama-agama lain dinegaranya. Raja Asoka di dalam menjalankan pemerintahannya, selalu menjaga toleransi dan kerukunan hidup beragama, semua agama pada waktu itu diperlakukan adil. Untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama tersebut, Raja Asoka telah mencanangkan kerukunan hidup umat beragama yang terkenal dengan “Prasasti Batu Kalinga No. XXII Raja Asoka”, yang isinya adalah:

“Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa suatu dasar yang kuat. Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah membantu agama kita sendiri, untuk berkembang disamping memguntungkan pula agama orang lain. Dengan berbuat sebaliknya, kita telah merugikan agama kita sendiri, disamping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu barang siapa yang menghormati agamanya sendiri dan mencela agama orang lain semata-mata karena didorong oleh rasa baakti pada agamanya sendiri dengan berpikir “bagaimana aku bisa memuliakan agamaku sendiri”. Dengan berbuat demikian, ia malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu kerukunan yang dianjurkan dengan pengertian bahwa orang hendaknya mau mendengarkan dan bersedia mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain”(Jotidhammo, 2003: 16).
Melalui Prasasti Batu Asoka tersebut menunjukkan bahwa raja Asoka telah benar-benar mengamalkan hakekat dari ajaran toleransi dan menghimbau kepada rakyatnya untuk menghargai agama orang lain. Asoka telah menunjukkan bahwa penghormatan terhadap agama sendiri bukanlah berarti dengan cara mencela agama orang lain. bahkan menghormat agama lain sampai batas-batas tertentu atas dasar-dasar tertentu pula merupakan penghormatan terhadap agama sendiri. Kepentingan hidup bermasyarakat dan bernegara dapat dijadikan dasar tertentu bagi penghormatan agama lain.

Buddha sendiri pernah menyatakan kepada para siswanya, apabila ada orang yang mencela atau merendahkan ajaran beliau, janganlah karena hal itu para murid membenci dan memusuhinya. Sikap benci dan memusuhi akan meracuni pikirannya, tetapi sebaliknya mereka harus menunjukkan alasan yang tepat terhadap hal-hal yang dibenci atau dicela. Sebaliknya, apabila ada orang yang memuji ajarannya, maka para siswa tidak boleh berbangga diri dan sewenang-wenang. Kedua sikap itu akan meracuni pikirannya, tetapi para murid sebaiknya menunjukkan fakta berdasarkan alasan yang tepat (Jotidhammo, 2000:14).

Hal lain yang diungkapkan Asoka adalah kerukunan berdasarkan pengertian yang benar. Ia berharap pada kesediaan semua orang untuk memiliki pengetahuan agama-agama agar diperoleh pemahaman yang benar terhadap agama yang dianut maupun agama lain (Widya-Mukti, 2003:12). Pemahaman yang apa adanya terhadap agama yang dianut merupakan suatu cara untuk menumbuhkan pengertian yang benar terhadap agama yang bersangkutan. Langkah semacam itu pasti akan mengurangi atau menghilangkan fanatisme agama yang keras dan prasangka keliru turun-temurun yang sering kali menjadi biang keladi perselisihan antara umat beragama. Pengetahuan agama-agama dapat pula mengungkapkan beberapa hal yang peka mengenai masing-masing agama, yang perlu dijaga dan dihormati.

Pada zaman Majapahit telah berhasil mengantarkan Bangsa Indonesia memasuki zaman keemasan yang jaya, karena adanya kerukunan hidup beragama, yakni kerukunan umat beragama Hindu dan Buddha. Pada masa itu Mpu Tantular, seorang pujangga Buddhis pada jaman Majapahit adab ke-14, telah menyusun karya sastra “Sutasoma” yang didalam mukadimahnya tersurat sebuah kalimat yang memiliki makna untuk membina kerukunan, persatuan dan kesatuan umat beragama, yang berbunyi: “Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa” (Tim Penyusun, 2003:16). Kalimat tersebut sekarang di jadikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika di lambang Negara Garuda Pancasila, yang mempunyai arti Walaupun Berbeda-Beda Tetapi Tetap Jua. Perbedaan bukanlah penghalang bagi kerukunan, justru kerukunan merupakan wujud dari perbedaan yang sudah saling menyadari pentingnya kebersamaan.

6. Ditthisamannata

Ditthisamannata adalah di depan umum ataupun pribadi, memiliki pandangan yang sama dengan berpedoman pada pandangan yang benar, hidup harmonis, tidak bertengkar karena perbedaan pendapat atau pandangan. Inilah perbuatan yang membuat saling dikenang, saling dihormati, menunjang untuk saling menolong dan ditolong, menciptakan kerukunan dan kesatuan.

“Begitu juga para Bhikkhu, dalam hal tinggal bersama dengan sesama teman kehidupan suci, seorang bhikkhu memiliki pandangan yang sama, baik di depan umum maupun pribadi, ia mempertahankan pandangannya yang mulia, yang bersifat membebaskan dan membawa ia yang berbuat sesuai dengan pandangan-pandangan itu pada penghancuran penderitaan secara total. Inilah satu ajaran yang untuk di ingat, untuk dicintai dan untuk di hormati, demi kerukunan, bebas pertentangan, keharmonisan dan persatuan” (Wowor, tanpa tahun: 57).

Setiap manusia memiliki pemikiran yang berbeda, sehingga perbedaan pendapat pasti akan terjadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan pendapat ini sering meyebabkan terjadinya konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Oleh karena itu, kita harus berusaha mengerti mana yang baik, benar, dan bermanfaat. Mengerti mana yang buruk, salah, dan tidak bermanfaat kemudian secepatnya mengambil langkah perilaku yang baik yang menguntungkan diri sendiri, orang lain dan makhluk lain.

Dalam dialog pasti ada perbedaan pendapat, tetapi harus ada komitmen bahwa perbedaan pendapat itu harus dihargai. Mengemukakan dan menanggapi suatu pendapat dapat dilakukan dengan baik, tanpa menghina atau merendahkan dan memuji yang patut di puji tanpa iri hati. Buddha sendiri menganjurnya penganutnya untuk berkelompok mempelajari kebenaran bersama, tidak mempertengkarkannya, melainkan secara cermat memperbandingkan makna demi makna, kalimat demi kalimat, demi kebaikan orang banyak.

Dalam berdialog setiap orang mempunyai kebebasan bertanya dan mengemukakan pendapatnya. Dalam ajaran Buddha sendiri dipenuhi dengan semangat kebebasan bertanya dan toleransi menyeluruh. Ajaran Buddha adalah ajaran tentang keterbukaan pikiran dan hati yang simpati, yang menerangi dan menghangatkan segenap semesta dengan sinar kebijaksanaan dan cinta kasih, memancarkan sinar keramahan pada setiap makhluk dalam perjuangan mengarungi samudra kelahiran dan kematian ( Dhammika, 2004:229).

Agama bukanlah suatu tawar-menawar tetapi merupakan suatu suatu jalan mulia untuk mencapai pencerahan dan keselamatan untuk diri sendiri dan orang lain. Jadi dengan demikian tidak ada manfaatnya apabila ada perdebatan dalam kehidupan beragama yang berujung pada suatu pertengkaran, Buddha menganjurkan para siswanya untuk tidak mudah percaya kepada-Nya secara membuta tetapi beliau menganjurkan untuk menganalisanya terlebih dahulu apakah itu bermanfat atau tidak. Ini sesuai dengan isi Kalama Sutta yaitu:

Jangan mudah percaya begitu saja tentang apa yang engkau dengar; jangan percaya begitu saja pada tradisi, desas-desus atau banyak omongan; jangan percaya begitu saja hanya karena hal itu tertulis didalam kitab agamamu; jangan percaya begitu saja pada kewenangan guru-gurumu; namun melalui pengamatan dan analisi, jika engkau temukan bahwa suatu hal sesuai dengan nalar dan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri sendiri dan semua, maka terimalah dan hiduplah sesuai hal tersebut (Cintiawati, 2003:139).

Agama Buddha dipenuhi dengan semangat kebebasan untuk melakukan penyelidikan dan kesempurnaan toleransi. Merupakan ajaran bagi mereka yang terbuka pikirannya dan memiliki perasaan simpati untuk menerangi dan menghangati seluruh dunia dengan sinat kebijaksanaan dan kasih sayang pada semua makhluk yang berjuang di dalam lautan samsara (Narada, 1995:26). Agama Buddha begitu toleran sehingga beliau tidak pernah menggunakan kekuasaan-Nya untuk memberi perintah kepada pengikut-Nya. Beliau hanya menganjurkan, menasehati, dan menunjukkan jalan yang pantas untuk dilakukan.

Umat Buddha tentu tidak akan keberatan terhadap agama apa saja yang memberi jalan untuk menyelamatkan kehidupan atau mengakhiri penderitaan manusia. Dengan keyakinannya, pemeluk agama tersebut tentu benar-benar bertanggung jawab untuk menciptakan dunia yang sejahtera dan bahagia. Agama semacam itu membawa tindakan yang penuh kasih dan akan membantu para penganut agama lain sekalipun beda keyakinan (Wijaya-Mukti, 2003:154).

Tidak satu pun misi agama yang memerintahkan penganutnya berbuat jahat. Agama-agama semestinya mengembangkan kasih sayang dan menjadi inspirasi perdamaian dan kerukunan. Agama Buddha sebagai agama universal sangat mendorong terbentuk dan terpeliharanya perdamaian dan kerukunan hidup umat beragama, dimana contoh konkret telah ditunjukkan oleh Buddha sendiri ataupun oleh siswa-siswanya dalam pergaulan masyarakat yang majemuk, diantaranya yaitu: (1) Masa Kehidupan Buddha, (2) Masa Raja Asoka, Dan (3) Masa Keprabuan Majapahit.

Sifat misioner agama Buddha bersumber dari amanat Bhagava kepada enam puluh siswanya yang telah menjadi arahat. Mereka diutus kesegala pelosok dunia untuk membabarkan ajaran dan praktik kehidupan suci yang sempurna. Pembabaran diprioritaskan kepada mereka yang matanya tertutup sedikit debu, atau orang yang telah siap dan mampu memahaminya. Yang mana sabda sang Buddha kepada para siswa-Nya untuk menyebarluaskan Dhamma adalah ”Pergilah kalian, oh para Bhikkhu, demi kesejahteraan semua, demi kebahagiaan semua, atas dasar belas kasih kepada dunia, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Janganlah pergi berdua dalam satu jalan. Babarkanlah Dhamma ini, yang indah pada awalnya, indah pada tengahnya dan indah pada akhirnya. Dalam semangat maupun ungkapan. Jalanilah kehidupan suci yang sempurna dan murni” (Dhammika, 2004:264).

Meskipun memiliki semangat misioner, agama Buddha sangat menghargai kebebasan setiap manusia untuk memilih dan menentukan sikapnya sendiri. Keyakinan agama tidak boleh dipaksakan. Bagi Buddha keyakinan bukanlah persoalan, yang penting bagaimana seseorang melakukan kebaikan untuk mengatasi penderitaan. Buddha menjelaskan bahwa ia menyampaikan ajaran tidak dengan keinginan untuk mendapatkan pengikut, atau membuat seseorang meninggalkan gurunya, melepaskan kebiasaan dan cara hidupnya, menyalahkan keyakinan atau doktrin yang telah dianut. Buddha hanya menunjukkan bagaimana membersihkan noda, menunjukkan jalan, dan meninggalkan hal-hal buruk yang menimbulkan akibat yang menyedihkan dikemudian hari.

1 komentar:

  1. Saraniya Dhamma apabila kita praktekkan dapat mewujudkan terjadinya kerukunan umat beragama

    BalasHapus